(Tugas 1)
CONTOH CERPEN
CONTOH CERPEN
Dia Yang Pernah Singgah
Kedua kaki ini telah sampai di depan sebuah naungan tempatku mendalami ilmu. Tempat yang setidaknya menyuguhkanku sebuah aroma manisnya menapaki awal masa remaja. Tentang kesenangan, tertawa karena kekonyolan dan terkadang tingkah laku aneh khas murid SMP. Ya, namaku Aisyah Nurida, sebut saja Rida.
Dengan derap langkah yang berirama ku mulai masuk ke dalam kelas. Tepatnya di kelas 7-B bersama sahabatku yang bernama Santi. Aku dan Santi mulai bersahabat semenjak masa orientasi dimulai 3 bulan lalu atau terhitung masih tak terlalu lama.
“Rida!”. Terdengar seseorang memanggilku dari luar kelas.
“hah? siapa tuh manggil Rid?”. Tanya Santi.
“hah? aku juga nggak tau San, coba deh aku lihat, kamu tunggu sini aja ya?”.
“oh gitu, ya udah deh”.
Maka dengan segenap rasa penasaran aku mulai menuju ke arah munculnya suara tadi. Hatiku bertanya-tanya, siapakah gerangan yang memanggil nama ini.
“Rini? ada apa ya?”. Heran aku padanya. Ternyata Rini yang memanggilku.
“sorry ganggu, aku mau pinjem buku biologi, bisa?”.
“buat kapan?”.
“sekarang, please ya?”.
“tapi kan…”.
“permisi”. Tiba-tiba seorang cowok melintas di tengah pembicaraanku dengan Rini.
Sekejap aku mati kata. Atmosfer seperti tak bersahabat. Rini hanya memperhatikanku dengan heran karena aku dengan polosnya menatap wajah yang baru saja lewat melintasi kami. Ya, dia adalah cowok yang sejauh ini berhasil mencuri perhatianku semenjak aku masuk masa sekolah tingkat SMP di sekolah ini. Dan hebatnya lagi, aku dan dia berada satu kelas. Namanya Dika.
“Rida? kok diem?”. Sahut Rini.
“oh iya sorry, kenapa Rin?”.
“gimana, boleh pinjem kan?”.
“oh iya deh, bawa aja”.
“makasih ya kalau gitu, eh ngomong-ngomong kenapa tadi kok ngeliat Dika sampai bengong gitu?”.
“hmm, nggak apa-apa kok, emang kenapa?”.
“ya nggak papa sih, cuman aneh aja, masa’ sampai segitunya? jangan-jangan suka ya?”.
“ih, apaan? udah ah udah”.
“hehehe…”. Rini menertawakanku yang mulai salah tingkah.
Aku tak mengerti mengapa raga ini menjadi kaku ketika ia berada di hadapanku. Sekuatku mencoba tetap tenang dan apa adanya, namun selalu gagal. Apakah aku suka padanya, pada Dika? tak terlalu cepatkah bagiku untuk merasakan itu? Keadaan ini membuatku rancu.
*Sepulang sekolah
Terik mentari tak tanggung-tanggung. Sekujur sekolah ini tersinari dengan sempurna. Semua siswa telah keluar dari kelas masing-masing untuk pulang, termasuk aku. Namun, tiba-tiba sebuah telapak tangan mendarat di pundakku.
“hey Rid!”. Sapa Santi.
“hmm, kenapa?”.
“denger-denger lagi suka sama seseorang ya? hehe”.
“hah? siapa?”. Aku heran.
“Dika”. Jawab Santi dengan frontalnya.
“hah?”.
“udah ngaku aja, buat apa disimpen sendiri?”.
“hmm, gimana ya? tau ah”.
“ayolah cerita Rid”.
“ya udah deh, ntar aku cerita, tapi jangan di sini, aku ngantuk mau pulang aja, daaa hehe”. Aku berlari meninggalkan Santi.
“eh Rid, tungguin!”.
Maka semenjak saat itu aku mencoba berbagi rasaku dengan sahabatku sendiri. Aku mulai bercerita mengenai apa yang ada selama ini. Santi benar-benar mendengarkanku layaknya remaja yang sok sibuk dengan cinta. Inilah awal masa remaja.
*Setahun Kemudian
Setahun berselang. Lama semakin lama. Aku benar-benar semakin memikirkannya. Takkah ini terlalu berlebihan? yang jelas aku hanya berusaha untuk tak gegabah mengatakan yang ada kepada Dika. Aku khawatir keadaan akan rumit jikalau aku benar-benar menyukainya. Kini aku kembali berada satu kelas dengan Dika di kelas 8-B.
Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang cukup mendebarkan. Tak ada angin juga hujan, Dika dengan ringannya menyapaku.
“hey”.
“eeh, iya?”. Aku kaku.
“hmm, ngapain?”.
“ini lagi ngerjain soal, emang kenapa?”.
“oh, nggak papa kok”.
“terus kamu mau ngapain?”.
“ee anu, aku boleh minta nomormu?”.
“emang buat apa?”.
“ya nggak papa, emang nggak boleh?”.
“hmm, boleh kok boleh”.
Ternyata Dika meminta nomorku. Betapa berbunga-bunganya semenanjung hati ini. Dan semenjak kami saling bertukar nomor ponsel, aku mulai dekat dengan Dika dan aku tak lagi canggung ketika harus berhadapan dengannya. Ini pertanda baik.
Sampai suatu hari…
“Rid, ada yang mau aku omongin”. Jelas Dika.
“emang ada apa Dik?”.
“tapi kamu jangan marah ya?”.
“ngapain marah? kenapa sih?”.
“aku suka kamu Rid”. Jawab Dika dengan jelasnya.
Aku benar-benar merasakan sesuatu yang tak akan pernah aku duga. Bagaimana bisa rasaku dengannya bisa sama seperti ini. Tuhan, betapa bahagia aku sebenarnya, namun aku tak cukup mengerti tentang arti cinta sesungguhnya. Aku tak ingin terjebak pada cinta yang dangkal. Aku hanyalah hawa yang cukup bisa merasakannya. Di satu sisi aku juga tak ingin menyia-nyiakan momen yang sangat jarang terjadi ini.
“kamu beneran Dik?”.
“iya Rid, kamu mau kan kita jadian?”. Pinta Dika padaku.
Hingga beberapa detik aku larut pada ketidak karuan. Sekali lagi aku takut terjebak pada cinta yang dangkal. Maka dengan segenap asa yang ada, aku berani menjawabnya.
“Dik?”.
“iya Rid?”.
“aku mau”.
Ya, alhasil kini aku dan dia telah memperjelas suatu hubungan. Antara aku dengannya telah menjadi ‘kami’. Kami saling memiliki.
Hari-hari kami berjalan. Dia tersenyum maka aku pula tersenyum. Ternyata indah. Kami bagaikan dua insan yang tak dibebani apapun. Yang ada hanyalah suka, canda dan tertawa bersama.
“makasih Rid”. Dia tersenyum.
“iya, kembali kasih Dik”. Aku membalasnya.
*Sebulan kemudian
Hubungan ini sampai pada bulan pertama. Tak terasa memang. Mungkin karena terlalu indah sehingga hari berganti tak dihiraukan. Namun sampai pada saatnya, aku merasakan sebuah keganjilan dan akhirnya berujung pada sebuah keputusan.
Seminggu seusainya, Dika menghampiriku. Ia datang dengan raut wajah yang tak seperti biasanya. Ada apa dengan cinta?.
“Dika? ada apa?”.
“bisa kita ngobrol sebentar?”. Pintanya padaku.
“kenapa? ada yang penting ya?”.
“iya”.
Dika mengajakku ke sebuah tempat di dekat musholla sekolah. Ia menatapku cukup serius. Aku merasa aneh dan hanya bisa menunggu apa maunya. Aku masih tak tau apa yang selanjutnya terjadi sebelum akhirnya ia mulai berkata-kata.
“Rid maaf, semenjak kita jadian ada yang berubah di keseharianmu, mungkin juga aku”.
“hah? maksud kamu apa Dik?”.
“aku mau kita putus”.
“kok putus Dik?”. Aku terkejut.
Dengan tidak jelasnya Dika mengakhiri hubungan kami. Ia memberi alasan yang sulit untuk ku cerna.
“intinya ada perubahan, aku nggak mau ada perubahan di hidup kita masing-masing, ini demi kita”.
“aku nggak ngerti”.
“terserah, tapi kita selesai”.
Dika membuatku bingung. Perubahan apa yang ia maksud? Dengan segala kejujuran hati, aku merasa sedih mendengar itu semua. Cinta yang awalnya tak terduga kini telah mengambil sebuah keputusan yang sulit untuk aku terima, namun inilah jadinya.
“ya udah kalau itu mau kamu, yang jelas aku masih nggak ngerti apa maksud kamu, makasih Dik udah mau kenal sama aku, setelah ini kita balik lagi jadi teman biasa, aku harap nggak ada permusuhan setelah ini”.
“iya Rid, pasti”.
Dari percakapan singkat itulah keadaan berubah. Kini Dika menjadi temanku, bukan pasanganku lagi. Hal yang dulunya aku takutkan memang benar terjadi, yakni cinta yang dangkal.
Apapun yang terjadi tak akan ada yang bersalah antara aku dengan Dika. Ini yang terbaik menurutnya. Justru ucapan terima kasih ku sampaikan padanya karena telah memperkenalkanku dengan cinta. Dia lah yang sudah membuatku mengerti bagaimana indahnya dicintai dan mencintai meskipun pada akhirnya tak bersama lagi.
Ini cinta, menjadi cinta, dan selamanya pada cinta.
Maka dari hati yang pernah terjaga, untuk dia yang pernah singgah
“Dika”.
Cerpen Karangan: Avando Nesto
Facebook: ELchevo Avando
Nama Asli: Arivando Yoga Papangdika Obesonya
Nama Pena: Avando Nesto
FB & Twitter: ELchevo Avando, @EL_Avando39
Hobi: musik, seni, sepakbola, nulis
Ini merupakan cerita pendek karangan Avando
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar